Media sosial tengah dihebohkan oleh sebuah video berisi rekaman aksi bullying atau perundungan yang dialami seorang anak berkebutuhan khusus. Video itu menggambarkan bagaimana ia dipermainkan oleh anak lainnya ditengah ia menjajakan dagangannya. Lewat video tersebut, timbul pertanyaan, mengapa anak berkebutuhan khusus rentan mengalami bullying atau perundungan?
Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan autisme lima kali lebih mungkin menjadi korban perundungan di lingkungannya. Meski demikian, sejumlah orang tua yang memiliki anak dengan sindrom tersebut mengaku bahwa kemungkinan anak autis menjadi korban perundungan, jauh lebih tinggi dari itu.
Dalam studi tersebut, sekitar 46% anak autis di sekolah menengah mengaku menjadi korban perundungan di lingkungan sekolah. Seorang penulis bernama Paul Sterzing dari Washington University di St. Louis menyebutkan, tingkat intimidasi dan perundungan di kalangan remaja ini sangat tinggi. Bahkan dia menyebutnya sebagai “masalah kesehatan yang mendalam”.
Studi lain mengungkapkan bahwa kebanyakan anak yang mengidap autisme mengalami kesulitan untuk mengenali isyarat sosial. Hal ini membuat mereka canggung saat berada di sekitar orang lain, sehingga mudah menjadi korban perundungan.
Anak dengan sindrom autisme biasanya melakukan hal-hal yang membuat mereka nyaman yaitu sesuatu yang berulang dan kadang sensitif terhadap rangsangan lingkungan. Hal itu yang akhirnya membuat anak berkebutuhan khusus terlihat berbeda, sehingga rentan mengalami perundungan.
Menurut hasil survei, ada tiga jenis perundungan yang paling umum bersifat verbal, atau dengan kata lain bersifat psikologis, di antaranya yaitu:
Sebanyak 73 persen bullying atau perundungan dilakukan dengan mengejek atau mengolok-olok anak berkebutuhan khusus yang menjadi korban.
Ada 51 persen kasus yang dilakukan dengan cara sengaja mengabaikan dan meninggalkan korban. Perbuatan ini merupakan cara para pelaku menunjukkan bahwa mereka lebih berkuasa dari korban.
Cara lain yang juga digunakan pelaku perundungan adalah dengan memberi label kepada korban. Anak-anak yang menjadi korban kemudian dipanggil dengan “nama buruk”. Hal itu ditemukan pada 47 persen anak yang mengalami perundungan.
Selain itu, anak berkebutuhan khusus juga kerap menerima perlakukan semena-mena melalui serangan-serangan fisik seperti didorong-dorong, ditampar, dipukul, atau ditendang yang dilakukan oleh para pengganggu.
Hal ini seolah menjadi momok bagi para orang tua yang dikaruniai anak berkebutuhan khusus. Mulai dari was-was untuk mengajaknya berinteraksi dengan dunia luar sampai panik soal masa depan anak tersebut. Wajar saja bila terjadi, karena memang semua orang memiliki akal tetapi tidak semua orang memiliki hati nurani.
Resiko Yang Dihadapi Korban Itu Tidak Ringan
Kasus bully yang terjadi baru terkuak beberapa bulan setelah korban bunuh diri. Dalam video di SD Carson di Ohio, Gabriel dihajar di toilet oleh segerombolan anak. Kaki si bocah tampak terkapar di pojok toilet sebelum akhirnya dibantu beberapa pegawai sekolah.
Pihak sekolah pun tidak mau dituntut akibat gagal memberantas bullying. Tindakan yang terjadi dengan Gabriel Taye disebut tidak bisa diprediksi dan tak mungkin dicegah.
"Sekolah hanya bertanggung jawab untuk mencegah apa yang mereka bisa prediksi," ujar pengacara pihak sekolah Eric Herzig.
Ia juga berargumen jika kasus ini diteruskan, maka ini bisa menjadi preseden yang membuat sekolah-sekolah lain bisa dituntut bila ada kejadian serupa di sekolah mereka.
Penasihat hukum orangtua korban, Jennifer Branch, menolak penjelasan tersebut. Ia juga menekankan sekolah pantas dituntut jika menutupi kasus seperti ini.
"Sekolah distrik berargumen, 'Tunggu dulu, jangan biarkan kasus ini berlanjut ... Kita nantinya malah bisa terus-terusan dituntut. Dan saya bilang, 'Bagus. Kamu seharusnya digugat jika menutupi kasus ini,'" ujar Branch.
Pihak sekolah mengajukan banding di Pengadilan Banding Sirkuit Keenam AS (daerah Michigan, Ohio, dan Tennessee) setelah banding mereka ditolak pengadilan level bawah.
AP News melaporkan Gabriel meninggal bunuh diri di kamarnya pada 26 Januari 2008. Sebelumnya, pihak sekolah berkata korban mengatakan dirinya jatuh pingsan dan tak mengakui bahwa dirinya jadi korban bully, hal itu pula yang sekolah katakan ke ibu korban.
Menilik Kasus Bullying Di Indonesia
Di Indonesia sendiri tidak sedikit kasus serupa terjadi bahkan hingga korbannya mengalami bunuh diri. Akibat daripada itu, saya pribadi melakukan survei terhadap 294 siswa berusia 15 tahun untuk menjawab kuisioner yang telah saya berikan. Ditanya soal menjadi korban bullying lebih dari sekali dalam sebulan, berikut ini adalah hasilnya:
Tidak hanya itu, pertanyaan tentang bagaimana respons siswa tersebut terkait bully seperti bagaimana perasaan mereka ketika ada yang menjadi korban bully atau tindakan yang dilakukan untuk menolong korban. Berbeda dengan data diatas, hal ganjil pun terjadi pada kuisioner tersebut. Pasalnya, tidak sedikit pula siswa yang kurang setuju bahwa terlibat bullying adalah hal yang salah. Berikut ini hasilnya:
Data tersebut menunjukkan bahwa bullying masih sangat rawan terjadi di luar rumah terutama di sekolah. Bagi siswa biasa saja masih rawan terjadi apalagi bagi anak berkebutuhan khusus. Lantas, cara apa lagi yang dapat kita lakukan?
Murid Disabilitas Rawan Mendapat Perundungan
Ganjar Pranowo mengungkapkan siswi korban pemukulan 3 siswa di Purworejo merupakan penyandang disabilitas. Ia mengatakan, perwakilannya sudah bertemu dengan orang tua korban yang sehari-hari bekerja sebagai buruh.
Untuk sementara waktu, ia meminta orang tua korban agar tak bekerja dahulu. Tujuannya agar orang tua korban fokus melakukan trauma healing kepada anaknya.
Selain itu, Ganjar melalui Disdikbud tengah membujuk orang tua korban pemukulan agar mau menyekolahkan anaknya di sekolah yang sesuai dengan kondisi.
"Ternyata anaknya ini berkebutuhan khusus. Makanya kita lagi merayu orang tuanya agar dia (korban) mendapatkan sekolah yang sesuai dengan kondisi dia," ujar Ganjar.
Polres Purworejo turun tangan menyelidiki kasus pemukulan siswi di Purworejo. Polisi sudah memeriksa tiga orang pelaku kekerasan, dua orang kelas XII dan seorang kelas XI.
Kasat Reskrim Polres Purworejo, AKP Haryo Seto, menjelaskan para pelaku nekat memukuli korban karena sakit hati. Sebab, kata dia, korban melaporkan para pelaku yang kerap memalak siswa lain kepada guru.
Penuturannya mereka sakit hati karena dilaporkan. Menurut Haryo, korban melapor kepada guru karena juga sering dimintai uang oleh para pelaku.
Kepala SMP Muhammadiyah Butuh, Ahmad, angkat bicara soal kasus pemukulan siswi oleh tiga siswa di sekolahnya. Ia mengatakan kejadian itu di luar sepengetahuan pihak sekolah.
Namun, ia membenarkan kekerasan berlangsung saat pergantian jam pembelajaran. Ahmad mengatakan ketiga pelaku memang dikenal sebagai anak yang nakal di sekolah.
Meski begitu, dia kurang sepakat jika siswanya harus dihadapkan proses hukum. Ia berharap pemukulan ini bisa selesai secara kekeluargaan, terlebih ketiga pelaku masih di bawah umur.
Terkait dengan status ketiga pelaku di sekolahan, dia mengaku masih menunggu keputusan dari dinas terkait. Ia tak bisa berbuat apa-apa jika kasus ini berlanjut ke proses hukum.
Memanusiakan Dengan Keteladanan
Sebagai bentuk apresiasi dan motivasi bagi anak atau siswa yang telah memperlakukan teman dengan baik atau menolong yang membutuhkan, guru bisa berikan motivasi berupa pujian dan pengakuan bahwa apa yang dilakukan adalah sikap yang baik dan perlu diteladani.
Apresiasi tersebut dapat juga diberikan dalam bentuk sentuhan-sentuhan positif, misalnya pelukan, usapan di kepala, acungan jempol ataupun toss.
Pastikan kita sebagai guru juga tidak melakukan perundungan khususnya gunakan bahasa yang baik dan positif. Karena dengan bahasa yang positif bisa menumbuhkan kebahagian , kepercayaan diri anak-anak kita saat mereka datang kesekolah.
Disinilah salah satu peran guru dalam memanusiakan manusia dengan keteladanan.
Selain itu,sebagai guru kita seyogyanya bisa memberikan ruang dan waktu saat menemukan anak didik kita terlihat murung, pendiam dan mengalami perubahan sikap yang tidak biasa.
Jadilah sahabat terbaik mereka tanpa mengurangi kewibawaan kita sebagai seorang guru. Karena dengan komunikasi ini, sedikit banyaknya mengurangi dan mencegah perundungan yang lebih parah terjadi.
Terlepas dari itu semua, peran orangtua tidak kalah penting dalam mencegah terjadinya perundungan ini.
Kerjasama yang berkesinambungan antara guru dan orangtua murid bisa di lakukan dengan mengedukasi anak atau siswa tentang bahaya perundungan dan dampaknya dengan cara menyanyikan jingle misalnya agar dapat diingat dengan mudah bagi anak atau siswa. Selain itu, dapat juga membuat prototype atau alat peraga kreatif bisa dalam bentuk video yang dapat dikemas secara menarik sesuai daya pikir anak agar dapat dimengerti.
Setidaknya dengan cara ini, peran kita sebagai orang dewasa dapat berdampak untuk mengatasi tindakan perundungan. Karena perundungan dapat terjadi kapanpun dan dimanapun serta dapat dialami oleh siapapun.
Komentar
Posting Komentar